Sunday, January 27, 2008

Malam Mimpi Bertemu Anjing atau Monyet, Pagi Bertemu Polisi Atau Petugas Pengadilan



Lima jam di Nusakambangan ,Bertemu Trio Bom Bali I (4)
Malam Mimpi Ketemu Anjing Atau Monyet , Pagi Ketemu Polisi atau Hakim

Di antara ketiga terpidana mati kasus bom Bali I, Imam Samudra adalah terpidana yang paling lantang bersuara.Tak ada keraguan yang tertangkap di antara kata-katanya soal bom bali maupun soal masalah hukum yang menimpanya. Bagaimana ceritanya ?
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Sama seperti Mukhlas, Imam Samudra menemui saya dengan balutan baju koko putih serta celana panang putih.Rambut gondrong sebahu miliknya pun tertutup kain yang telah dijalin sedemikian rupa hingga menyerupai kopiah . Bedanya , kain yang menutupi rambut berombak itu berwarna hitam. Perawakannya yang kecil juga menjadi satu kesamaan yang lain antara Imam Samudra dan Mukhlas.

Bedanya, wajah dan kulit Imam Samudra terlihat lebih bersih dari Mukhlas. Perbedaaan lainnya terdapat di jenggot serta kumisnya. Kumis dan jenggot Imam terlihat masih utuh menghitam.Sedang milik Mukhlas sudah dihiasi uban. Tidak hanya itu,cara berbicara antara kedua terpidana mati itu pun berbeda jauh .

Nada bicara Mukhlas terdengar lebih rendah . Sedang nada bicara Imam Samudra terdengar meledak-ledak dan lebih terkonsep. Kata-kata yang keluar dari mulut Imam Samudra lebih fokus dan terkadang menohok.Bahkan , sesekali ucapanya terdengar >thok lek< tanpa tedeng aling-aling.

Salah satu ucapan Imam Samudra yang menohok dan tanpa tedeng aling-aling adalah yang keluar ketika wawancara hendak dimulai. Saat itu , selain wartawan di dalam ruangan Kabid Administrasi dan Kamtib LP Batu Nusakambangan,Mudianto,terdapat dua pria bertubuh tegap. Keduanya sudah berada di ruang itu sejak Imam masuk sambil mengucap salam.

Rambut salah satu pria itu gondrong dan dikuncir ke belakang.Sedang yang lainnya menutupi rambut berubanya dengan topi.Sesaat setelah masuk, Imam Samudra membuat kedua pria itu salah tingkah. Hanya beberapa detik setelah duduk di kursi , Mata Imam Samudra terlihat tajam menatap keduanya secara bergantian. Pria dengan rambut terkuncir yang duduk di kursi mencoba beradu pandang dengan terpidana mati di depannya. Tapi itu hanya berlangsung beberapa detik saja . Selanjutnya , dia membuang pandangannya ke sudut lain di ruang itu.

Tiba-tiba saja , sambil terus menatap pria berkuncir , Imam menanyakan asal usul mereka. Keduanya tidak langsung menjawab. Namun kemudian , Imam menyambung kata-katanya dengan kata-kata “Anda berdua dari Polres kan, anda juga kan ?,” sambil terus memandangi kedua pria tersebut secara bergantian.

Merasa ketahuan,dua pria berkaos itu mengaku bahwa mereka adalah polisi.Mau tahu apa kata Imam selanjutnya ?.“Anda-anda nggak mungkin bisa bohongi saya. Saya telah empat kali mengalami mimpi bertemu anjing dan monyet. Dan setiap pagi setelah saya bermimpi , kalau nggak ketemu dengan polisi pasti saya ketemu dengan orang pengadilan . Saya nggak bohong . Saya hanya >ngasih tahu<,” katanya.



Dua polisi yang ketahuan itu pun terlihat tercekat dengan ucapan Imam Samudra. Seandainya yang mengucapkan kata itu bukan seorang Imam Samudra, bisa jadi mereka bakal naik pitam.Tapi,siang itu, keduanya terlihat “ tak berdaya” di hadapan Imam Samudra. Keduanya pun kemudian tersenyum kecut sambil membuang mukanya. Tampak rona kemerahan muncul di wajah kedua pria itu.

Usai “ mengerjai” dua polisi itu , Imam lagsung mengalihkan tema kepada wartawan.Kali ini dia malah membuka wawancara pertanyaan.Dia menanyakan untuk apa keperluan wawancara itu.Setelah mengetahui wawancara itu untuk mencari pengakuannya tentang bom bali , Imam pun kemudian bersedia bercerita. “ Tapi saya nggak mau ucapan saya dipotong dan diplintir seperti beberapa waktu lalu. Saya mau apa adanya ya,” ujarnya sambil tersenyum.

Dia mengatakan, apa yang ia lakukan itu adalah sebuah perjuangan. Menurutnya , aksi itu adalah jihad.Aksi itu dimaksudkan untuk menunjukkan kepada bangsa Irak, Afganistan dan bangsa Isalm lainya bahwa mereka punya teman yang peduli. Cara menunjukkan kepedulian itu adalah dengan mengobarkan semangat jihad fisabililah. “ Sasaran utama aksi saya itu adalah bangsa kafir,” ujarnya.

Kalaupun ada korban kaum Muslim di bom Bali, Imam mengatakan itu di luar kesengajaan. Meski demikian , dia menolak dikatakan Bom Bali itu tidak sesuai rencana. Menurutnya, ledakan itu sudah sesuai dengan skenario, hanya saja terjadi sedikit >error< sehingga timbul korban dari kaum Muslim.” Kalau memang mereka di sana dalam keadaan bekerja , insyaalah mereka mati syahid. Saya sudah membayar itu dengan puasa kifarat. Dan saya yakin , cepat atau lambat , keluarga korban akan mendukung kami,” tambahnya.


Imam mengaku,mati syahid adalah cita-citanya sejak umur 17 tahun. Malah , pada saat itu dirinya berharap sudah menjadi syuhada di umur 25 tahun . “ Tapi sampai sekarang malah masih hidup. Malah pada umur 25 saya menikah . Itu terjadi 3 tahun setelah saya pulang dari Afganistan,” ujarnya.

Impian mati syahid itu menurutnya akan tercapai jika nanti dirinya dieksekusi mati. Menurutnya , eksekusi itu akan membuatnya masuk ke surga dan bertemu dengan bidadari-bidadari yang kini telah menunggunya.“Dan isnyaallah,yang mengeksekusi saya nanti tidak akan tenang hidupnya.Kalau tidak dirinya sendiri, maka keluarganya akan mengalami celaka. Bisa saja dia mengalami kecelakaan,'” imbuhnya.

Selain mengaku siap mati,Imam Samudra juga menjanjikan sebuah perlawanan jika hari eksekusinya tiba. Dia menyatakan tidak akan menyerah begitu saja di hadapan regu tembak. Dia tidak mau disamakan dengan kambong congek yang hanya diam ketika digelandang.“Saya ngak mau seperti kambing congek. Saya tidak akan diam begitu saja ketika diborgol atau ketika di hadapan regu tembak. Saya akan melawan semampu saya,” katanya.

Soal bentuk perlawanan yang ia janjikan, Imam mengaku akan melakukan apa saja yang ia bisa. Dia mencontohkan, kalau tanganya masih bisa dipakai melawan , dirinya akan menggunakan tanganya. Seandainya tidak bisa , dia akan menggunakan kaki atau bagian tubuh yang lainnya untuk melawan regu tembak. Dan kalau memang semuanya tidak bisa dilakukan , minimal dia akan melakukan perlawanan dengan hatinya. “ Allahuakbar,” ucapnya kemudian.

Baginya, kematiannya karena berjihad bukanlah apa-apa. Sebab, jihad fisabilillah tetap akan menyala meski dirinya mati. Imam menyebut dirinya hanyalah setitik debu di antara jutaaan mujahidin di seluruh dunia yang saat ini masih berjuang di jalan Allah. Dan yang pasti , saya dia , jihad yang telah dilakukan oleh mujahid-mujahid tersebut adalah demi membela muslim dari ketertindasan.

“ Dan siapa pun yang menyakiti Muslim pasti akan dihukum oleh Allah. Makanya bagi para polisi yang ada di sini , saya pesan jangan sakiti umat Muslim . Sebab Allah pasti akan menjatuhkan hukuman . Yang menyakiti Muslim pasti tidak akan tenang hidunya.Jadi , kepada polisi , saya pesan jangan mau kalau disuruh menangani para Mujahidin. Kalau mau, saya sumpah hidup anda tidak akan tenang. Kalau ngurusi rampok boleh. Lakukan itu bersama doa saya , “ tandasnya sambil melihat kearah dua polisi di ruang tersebut.

Disinggung mengenai permohonan grasi , sama seperti Mukhlas , Imam juga dengan tegas menolaknya. Menurut dia , dengan mengajukan grasi , itu sama artinya dengan mengaku salah dan meminta pengampunan. Dan kalau mengajukan grasi , kata dia , itu sama artinya dengan mengaku hukum orang kafir. “ Undang-undang di Indonesia kan peninggalan orang kafir, orang Belanda,” imbuhnya.


Sementara , soal keinginannya yang belum terpenuhi, Imam mengatakan satu-satunya keinginan di hatinya adalah menambah daftar orang kafir yang ia bunuh . “ Saya ingin membunuh orang kafir lebih banyak. Dan saya ingin syahid di sana,” tandasnya.

Sebenarnya , masih banyak yang ingin diungkapkan Imam samudra dalam pertemuan itu . Namun , waktu yang terbatas membuat wawancara harus diakhiri. Selanjutnya , bersama Achmad Michdan dan Mukhlas , Imam Samudra turun dan kembali ke ruang pertemuan di lantai dasar LP Batu Nusakambangan. Di ruang itu, saya menyempatkan bertemu dengan Amrozi lagi . Dan sambil menikmati nasi bungkus , Amrozi pun memulai ceritanya.

Saturday, January 26, 2008

Mukhlas Merasa Lebih Bahagia Dibanding Saat bertemu Istri di Malam Pertama. Minta Dirinya Dihukum Pancung Saja


Mukhlas alias Ali Gufron,kakak kandung Amrozi, adalah narapidana mati kasus Bom Bali I yang saya temui sebelum Imam Amrozi dan Imam Samudra.Banyak cerita menarik yang didapat darinya.
=========================================================================================
Setelan baju gamis putih dan celana putih membalut tubuh mungil Mukhlas.Selembar >Khafiyeh< menutup kepalanya.Kain itu telah dijalin sedemikian rupa hingga menyerupai kopiah. Wajah pria tersebut terlihat tenang. Mulutnya sesekali menyunggingkan senyum.Nyaris tak terlihat bahwa dia adalah orang yang hidupnya telah dibatasi oleh sebuah putusan hukuman mati dari pengadilan. Dan sewaktu-waktu,regu tembak bisa saja menghabisinya.

Di ruang Kabid Administrasi dan Kamtib LP Batu, Mudianto,Mukhlas memulai wawancara dengan membacakan doa. Menurutnya,doa itu diperlukan agar wawancara yang terjadi mendapat berkah dan manfaat bagi kaum muslim di dunia, terutama untuk mujahidin-mujahidin yang saat ini masih melaksanakan jihadnya."Semoga apa yang kita lakukan hari mendapat ridho dan barokah dari Allah," ujarnya.

Selepas doa bersama itu, Mukhlas langsung bicara mengenai apa yang ia alami di dalam LP Batu selama dua tahun terakhir. Menurutnya,banyak kebahagian yang ia dapat di penjara itu. Kebahagian itu lebih dari kebahagiaan yang ia temui ketika masih berada di luar penjara.Bahkan,dia mengaku kebahagian yang ia capai di dalam penjara melebihi perasaan bahagia ketika ia bertemu dengan istrinya di malam pertama.

"Alhamdulilah,saya sangat bahagia di sini. Makanya saya ceria.Kebahagiaan saya di sini melebihi saat bertemu istri di malam pertama.Kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan >ruh< yang berhubungan dengan Allah. Sedang kebahagiaan saat bertemu istri adalah kebahagiaan jasmani," ujarnya sambil mengelus jenggot di janggutnya yang mulai memutih.

Kebahagiaan >ruh< itu menurut Mukhlas terjadi karena selama di dalam penjara,dia bisa lebih banyak berkomunikasi dengan yang maha pencipta.Di penjara,lanjutnya,setiap hari dia bisa secara terus menerus membaca dan melafalkan ayat-ayat di kitab suci Al Qur'an. Dengan kesempatan yang lebih banyak itu,Mukhlas mengaku telah beberapa kali >katam< membaca Al Qur'an . Terus menerus membaca Al Qur'an menurutnya diperlukan hafalan yang telah ia capai. Setiap harinya,Mukhlas mengaku menargetkan membaca beberapa >juz<. Menurut dia,menjaga hafalan lebih sulit daripada menghafalnya.



" Di sini , saya bisa lebih khusuk beribadah.Kalau di rumah,baru mulai membaca Al Qur'an terkadang ada gangguan.
Ya dipangil istri atau dipanggil anak.Di sini,saya bisa lebih konsentrasi karena setiap hari saya selalu berada di dalam sel seorang diri. Tidak ada temannya," ujarnya disambung senyum.

Menurutnya, ada dua ibadah utama yang saya lakukan di sini.Yang pertam adalah ibadah umum dan yang kedua adalah ibadah >khos<.Ibadah umum adalah semua yang berkaitan dengan duniawi.Sedang ibadah >khos< adalah ibadah yang berhubungan dengan Allah seperti shalat lima waktu."Jadi,hakim telah membuat saya lebih bahagia dengan putusannya.Hakim salah telah memenjarakan kami,sebab kami malah merasa lebih bahagia.Di sini kami jarang mendengar ada pemurtadan terhadap Islam.Dan itu membuat kami bahagia," katanya.

Selain beribadah,Mukhlas mengaku mengisi hari-harinya di dalam penjara dengan membaca serta meringkas buku.Dia mengatakan,selama dua tahun di penjara,dia telah mengabiskan puluhan pack ballpoint serta puluhan buku tulis untuk meringkas. Selain buku ilmu pengetahuan Islam,dia juga menyampatkan diri mengaku membaca buku-buku hukum di Indonesia dan dunia. Bahkan,saat wawancara kemarin,dia membawa serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dia juga mengaku memiliki koleksi buku yang beragam.

Sedang soal kunjungan keluarga ke LP Batu , Mukhlas mengaku istri dan anaknya hanya setahun sekali datang.Dia mengaku maklum dengan kondisi itu.Sebab,istri dan anaknya tinggal di Malaysia.Namun, keluarganya di Lamongan lebih sering datang."Alhamdulilah saya juga dapat kunjungan keluarga.Terutama dari Lamongan.Kalau anak istri saya setahun sekali.Mereka kan tinggal di Malaysia.Yang sering datang ke sini dari Lamongan," jelasnya.

Ditanya mengenai kemungkinan mengajukan grasi ke presiden,Mukhlas terang-terangan menolak hal itu.Menurutnya,jika dia mengajukan grasi,itu sama artinya dengan pengakuan bersalah atas apa yang ia lakukan.Selain itu,dengan mengajukan grasi,sama artinya dengan pengakuan atas persidangan yang menurutnya melanggar hukum Islam. Dengan tegas Mukhlas menyatakan persidangan atas dirinya dan para mujahidin adalah persidangan setan. Indikasinya adalah keberadaan hakim dan jaksa yang kebanyakan non muslim."Hukum saya adalah hukum Islam.Dan saya tidak mengakui hukum yang menjadi dasar penghakiman kami. Pengadilan yang mengadili kami adalah pengadilan setan," katanya.

Penolakan tas dasar hukum itu menurut Mukhlas juga ia >ejawantahkan< saat dirinya menolak menerima salinan putusan Peninjauan Kembali (PK) beberapa waktu lalu.Ketika itu,kata dia,beberapa petugas pengadilan datang untuk menyerahkan putusan PK kepada dirinya serta dua terpidana mati lainnya.Namun,ketiganya menolak menerima. Mereka meminta petugas itu menyerahkan putusan itu kepada kuasa hukum mereka , Tim Pengacara Muslim (TPM).

"Sebenarnya simpel saja.Kami sejak awal sudah menyerahkan perkara ini kepada TPM, jadi mereka bisa menyerahkan putusan itu kepada kuasa hukum kami. Bukan malah bersusah-susah mendatangi kami di sini . Lagi pula,kami pasti menolaknya. Karena kalau kami menerima itu,berarti kami berdosa. Kami berdosa telah mengakui hukum yang bukan hukum Islam,"katanya. Lebih lanjut dia mengaku mengatakan KUHP yang selama ini menjadi dasar penindakan perkara di Indonesia suatu saat akan masuk ke tong sampah . Peristiwa itu akan terjadi saat Islam meraih kemenangan nantinya.

Dia menambahkan,apa yang ia lakukan hingga harus berujung dengan penjara itu adalah perjuangan melawan pemurtadan dan penindasan terhadap Islam.Dan hingga sekarang menurutnya belum ada satu alasan pun yang dapat digunakan untuk menyalahkan aksi pengeboman itu.Aksi itu dilakukan semata-mata atas nama jihad melawan kemusyrikan dan kemungkaran. Dan jihad itu berada di di jalan Allah." Saya berjuang demi Islam. Saya berjihad melawan kemusyrikan di jalan Allah. Dan itu benar menurut saya,"lanjutnya.

Karena meyakini dirinya berjuang atas nama Islam itulah,Mukhlas menyatakan ingin dihukum dengan dasar hukum Islam.Kalau pun harus menghadapi hukuman mati,dia ingin menikmati itu dengan hukuman pancung, hukuman yang sesuai dengan syariat Islam.Selain ingin mati di jalan yang ia yakini,Mukhlas juga ingin menunjukkan kepada mujahidin bahwa dirinya tidak takut menghadapi kematian.Dengan itu,dia berharap semangat para mujahid terus berkobar.Sehingga mereka terus berjihad di jalan Allah untuk mencari syahid.

Soal kemungkinan permintaan hukuman pancung atas dirinya tidak dikabulkan karena Indonesia bukan negara penganut hukum Islam,Mukhlas mengaku tidak merisaukannya.Yang penting,kata dia,dia sudah mencoba meminta hukuman pancung atas dirinya."Yang penting saya sudah melakukannya.Disetujui atau tidak,itu urusan mereka," tandasnya datar.Dan,sesaat berikutnya, waktu pertemuan pun usai.Selanjutnya, Imam Samudra >lah< yang bakal bercerita. Mau tahu ?

Aku Tiba Di Pulau Nusakambangan


Pulau Nusakambangan memiliki panjang 60 kilometer dan luas 4 kilometer.Hampir 90 persen dari pulau itu adalah hutan belantara. Hanya sedikit denyut kehidupan manusia di pulau tersebut.Kehidupan hanya ada di sekitar jalan sempit nan terjal yang membentang dari Dermaga Sodong hingga Pantai Pasir Putih di ujung selatan Nusakambangan.
=========================================================================================

Sesaat setelah kapal Ferry Pengayoman II bersandar di dermaga Sodong -- yang merupakan satu-satunya pintu masuk resmi ke pulau Nusakambangan--, perjalanan darat menuju LP Kelas I Batu yang berada jantung pulau berhutan lebat itu dimulai.Mobil patroli polisi yang penuh sesaak dengan petugas baik berseragam ataupun tidak menjadi pemimpin perjalanan ini. Pintu belakang mobil petugas itu tampak sengaja dibuka.Empat polisi berpakaian preman yang berada di dalamnya terlihat terus mengawasi mobil-mobil pengunjung di belakangnya.

Enam mobil pengunjung dan satu mobil polisi itu terus bergerak pelan merayapi jalanan berdebu di bibir pulau yang dikhususkan sebagai tempat tinggal narapidan kelas berat itu.Jalanan itu langsung berbatasan dengan pantai di sisi kanannya. Sedang di sisi kiri, terlihat tebing gunung berhutan lebat. Sesekali,hamparan semak belukar kami temui .Hingga hampir dua klometer jauhnya, kami tak menemukan tanda kehidupan manusia. Yang ada hanya hutan dan laut .

Kondisi itu baru berganti setelah kami semakin jauh masuk jantung pulau. Laut terlihat semain jauh. Yang berada di sisi kanan badan jalan adalah hutan bakau serta kelapa. Sedang di sini kiri tetap menyajikan hamparan hijaunya hutan yang berhiaskan ratusan pohon jarak.Beberapa ratus meter kemudian ,kehidupan manusia mulai terasa.Beberapa pria dengan kaos warna biru tua terlihat beraktivitas di lahan-lahan pertanian yang berada di antara beberapa puing bangunan tua tak terawat." Mereka adalah narapidana yang menjalani tahanan luar.Sebentar lagi mereka akan menikmati kebebasan," ujar Budi Kuswanto.

Semakin ke dalam pulau,kehidupan semakin terasa. Beberapa rumah sederhana mulai terlihat di sekitar jalanan. Jarak antara rumah rumah itu lumayan jauh. Tanah pertanian yang mayoritas ditanami jagung dan ketela pohon menjadi pembatas antara rumah-rumah semi permanen tersebut. Menurut Budi Kuswanto --yang telah beberapa kali bertandang ke Nusakambangan-- rumah itu ditinggali oleh sipir-sipir lembaga pemasyarakatan dan petugas keamanan lainnya."Ada juga penduduk yang tinggal di sini,tapi jumlahnya sedikit.Sejarah mereka di sini sangat panjang," ujarnya.

Beberapa ratus meter kemudian,sebuah bangunan yang terlihat masih baru terlihat berada di sisi kanan jalan.Dari papan nama di pintu gerbangnya, kami tahu bangunan itu adalah Lembaga Pemasyarakatan terbuka. Meski "berjudul" Lembaga Pemasyarakatan, kesan angker sama sekali tidak terlihat di kompleks itu.Tidak ada kawat berduri yang membatasinya.Penghuni bangunan yang semuanya berseragam biru terlihat bebas beraktivitas. Beberap dari mereka terlihat tengah mengolah tanah pertanian di sebelah bangunan itu.

Mobil kami terus bergerak.Sebuah tugu --yang lebih mirip dengan papan nama dari cor beton-- terlihat terpampang di depan kami.Dari tulisan yang ada di sana,kami tahu bahwa sebentara lagi kami akan tiba di LP Batu, tempat yang memang kami tuju. dan benar saja,tak sampai tiga menit setelah melewati tugu itu,kami bertemu dengan bangunan besar.>Ya<, itu adalah LP Batu.Sistem pengaman super ketat jelas terlihat di bangunan itu.Tembok tinggi dengan hiasan gulungan kawat berduri terlihat mengelilingi bangunan di dalamnya.

Achmad Michdan loangsung turun dan masuk ke bagian depan LP Batu sesaat setelah mobil yang ia tumpangi berhenti . Kami yang dibelakangnya pun segera mengikutinya. Di dalam ruang depan LP, Achmad Michdan ditemui oleh Bintoro, kepal LP tersebut . Tanpa proses berbelit, satu persatu kami dipanggil masuk untuk menuju ruang tunggu di bagian dalam ramah tahanan itu.Meski telah melewati pemeriksaan di dermaga, kami menjalni pemeriksaan lagi di pintu masuk ruang tunggu LP Batu .

Setelah sukses melewati metal detector,kami dikumpulkan di sebuah ruang berukuran sekitar 6 X 6 meter.Tak ada tempat duduk di ruang itu.Yang ada hanya hamparan karpet warna hijau yang menutupi lantainya. Selang beberapa menit berikutnya, ruangan mendadak berubah menjadi sedikti gaduh.Ternyata tiga terpidana mati yang hendak kami temui datang.Ucapan salam, jabat tangan ,dan pelukan langsung terjadi antara Amrozi, Imam Samudra dan Muhklas dengan para pembezuknya."Alhamdulilah saya sehat-sehat saja," ujar Mukhlas kepada salah satu pengunjung.

Sesaat berikutnya, ketiga terpidana yang tengah menunggu proses eksekusi itu terlihat berbincang serius dengan Achmad Michdan dan beberapa orang pengacara TPM lainnya di sudut ruangan.Sesaat berikutnya,mereka memisahkan diri dan menemui pengunjungnya.Lingkaran-lingkaran kecil pun segera terbentuk di ruang itu.Amrozi,Imam Samudra dan Mukhlas menjadi titik pusat lingkaran kecil itu. Obrolan yang terjadi pun berkutat pada keyakinan mereka akan jihad dan akidah.

Dari ucapan para terpidana,jelas terlihat bahwa mereka adalah orang yang sangat meyakini kebenaran akan apa yang mereka lakukan (bom Bali, red).Mereka sangat yakin bahwa yang mereka lakukan kala itu adalah sebuah bagian jihad melawan kemurtadan dan kekafiran untuk menuju sahid." Satu-satunya yang saya sesali adalah kenapa korbannya cuma 200 orang,kurang banyak. Harusnya seribu," ujar Amrozi.

Beberapa saat kemudian,Achmad Michdan mengajak ketiga terpidana itu untuk naik ke lantai dua bangunan itu.Ketika itu, Michdan bermaksud memberi kesempatan kepada wartawan dua stasiun televisi serta dua wartawan Jawa Pos Group untuk mewancarai mereka.Namun,hanya Imam Samudra dan Muhklas saja yang bersedia.Amrozi menolak ikut naik ke lantai dua."Aku gak usah lah, aku di sini saja,"ujarnya.

Di lantai dua itu, Imam Samudra dan Mukhlas dipisah di dua ruang berbeda.Setelah berembuk ,akhirnya saya kebagian menemui Mukhlas terlebih dahulu.Sedang dia akan menemui Imam Samudra." Nanti gantian kalau sudah,biar semua tercover," ujarnya. Mau tahu apa kata Mukhlas tentang eksekusi atas dirinya, grasi , serta perjuangan yang ia yakini ? . Ikuti cerita selanjutnya.

Perjalananku Menemui The Bombers di Nusakambangan


Bersama Tim Pengacara Muslim (TPM ) Jawa Tengah, saya mendapat kesempatan berkunjung ke Pulau Nusakambangan untuk mengunjungi trio Bom Bali I yakni Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra. Banyak cerita yang didapat dari tiga terpidana mati yang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Kalas I Batu, Nusakambangan, Cilacap, itu.
=====================================================================================
Malam memang telah beranjak larut.Jarum jam pun sudah merangkak naik dari angka 10.00.Bersamaan dengan itu,saya pun harus memulai menempuh perjalanan lumayan panjang menuju kabupaten Cilacap,Jawa Tengah. Malam itu,saya sengaja menumpang mobil rombongan Tim Pengacara Muslim ( TPM ) Jawa Tengah yang memang memberi kesempatan saya untuk mengunjungi Nusakambangan.

Ada empat pengacara muslim dan tiga asistennya yang malam itu berangkat dalam mobil tersebut.Mereka adalah Anis Priya Anshari,Budi Kuswanto,M Syaifudin, dan Juriyanto.Sedang tiga asistenya yang turut dalam rombongan kecil itu adalah Khalid Syarfulah , Hasan , dan Omen.

Satu demi satu kota di sebelah barat Solo seperti Klaten, Yogyakarta, Wates, Purworejo,Kebumen,dan Gombong terlewati.Sepanjang perjalanan,obrolan-obrolan "gayeng" yang terkadang ditimpali dengan >joke-joke< konyol terus menghiasi.Semua topik dan isu hangat saat ini menjadi bahan obrolan di sepanjang perjalanan.Waktu yang berlalu pun seakan tak berasa lama.Padahal,sudah lebih dari empat jam kami yang di dalam mobil menikmati "ombak-ombak" kecil permukaan jalan di jalur selatan pulau Jawa itu.

Dan akhirnya,setelah tiga jam berlalu dari angka 12.00, gerbang ibu kota Kabupaten Cilacap terlihat di depan mata. Saat itu,pagi masih terlalu dini.Denyut kehidupan pun belum terasa di kota yang berada di bibir pantai selatan pulau Jawa itu.Mobil yang saya tumpangi langsung menuju masjdi agung Kabupaten Cilacap.Di halaman masjid itu,rombongan TPM yang saya ikuti disambut oleh rombongan keluarga Agung Setyadi dan Subur Sugiarto,--yang juga terpidana perkara terorisme dan ditahan di Nusakambangan--. Sama seperti saya dan TPM ,mereka juga hendak mengunjungi keluarganya di Nusakambangan.

Ada keinginan di hati saya untuk >ngobrol< lebih dari sekedar basa-basi dengan mereka. Sayangnya, belum sempat niat saya kesampaian, >muadzin< di masjid yang kental dengan arsitektur Jawa itu telah mengumandangkan azan Shubuh.Satu persatu, kami beringsut menuju >padasan< untuk mengambil air wudhu. Dan setelah mensucikan diri,kami bergabung dengan jemaat yang telah bersiap menunaikan shalat shubuh.

Hanya berselang beberapa menit setelah menunaikan shalat,Khalid Syaefullah memberitahu saya bahwa Acmad Michdan, salah satu pengacara TPM Pusat juga telah tiba di Cilacap.Saat itu,dia sedang beristirahat di hotel Tiga Intan di tengah Kota Cilacap. "Nanti saya langsung ke hotel dulu,terserah temen-temen mau gimana,ikut ke hotel atau mau mencari >tempe mendoan< dulu," ujar Khalid ketika itu.

Setelah berembuk sesaat,disepakati hanya Khalid yang akan ke hotel untuk menemui Acmad Michdan terlebih dahulu. Sedang yang lain memilih menunggu >sunrise< di pantai Teluk Penyu, ikon wisata laut Kabupaten Cilacap. Dan saya pun memilih mengikuti rombongan yang hendak menikmati matahari pertama di Cilacap pagi itu."Setelah menikmati matahari,kita menikmati >mendoan<," ujar Anis Priyo Anshari.

Pantai yang menjadi andalan dinas pariwisata setempat itu berada tak jauh dari jantung kota Cilacap.Hanya perlu waktu beberapa menit saja untuk menjangkaunya.Hari masih cukup gelap ketika kami tiba di lokasi tetirah yang juga menjadi pelabuhan pendaratan sampan nelayan lokal itu. Mata saya masih belum bisa melihat secara gambalng aktivitas serta pesona yang ditawarkan pantai itu.

Meski demikian, mata saya masih bisa menangkap bayangan-bayangan aktivitas nelayan lokal yang baru saja mendarat di antara kokohnya anjungan dermaga. Di sudut lain , tempak titik nyala api lentera yang menerangi aktivitas nelayan di dekat perahunya. Sedang jauh di lepas pantai,terlihat kerlap-kerlip lampu kapal barang yang tengah berlabuh. Sementara, di ufuk timur cakrawala,rona kuning kemerahan terlihat semakin meretas.

Awalnya,saya memilih melihat aktivitas para nelayan dan laut Teluk Penyu dari dalam mobil. Namun,rasa penasaran terhadap aktivitas nelayan memaksa saya untuk turun dari mobil. Begitu juga dengan anggota TPM Jawa Tengah yang turut ke pantai pagi itu. Dan kami langsung menuju ke arah nelayan-nelayan itu. Setelah dekat, akhirnya saya tahu bahwa yang mereka hasilkan pagi itu bukanlah ikan laut. Tapi,nelayan-nelayan itu baru saja mengangkat jaring perangkap >Rajungan< (hewan laut yang lebih mirip kepiting berukuran kecil, red)."Ini baru musim Rajungan, belum ada ikan ," ujar salah satu dari mereka dengan dialek Banyumasan yang kental.

Waktu pun terus berjalan. Dan rona merah kekuningan di ufuk timur langit semakin kentara. Perlahan, bola matahari terlihat merambat naik. Bola besar warna kuning keemasan itu seakan terangkat dari kedalaman laut.Cahayanya langsung berpendar ketika menghempas permukaan air.Keindahan yang memang kami tunggu pun kemudian terjadi . Air laut di depan kami berubah menjadi keemasan memantulkan sinar matahari itu. Siluuet aktivitas nelayan-nelayan sampan yang hendak berlabuh menambah keindahan pagi itu.

Lebih dari satu jam kami menikmati pantai Teluk Penyu.Angka penunjuk waktu di pesawat telepon selular saya menunjukkan angka 07.00.Dan saat itu, Budi Kuswanto , salah pengacara mengatakan kami harus segera ke hotel untuk bersiap melakukan penyebrangan." Kita harus segera ke hotel , bang Michdan mengatakan akan menyeberang jam 08.00," ujarnya kepada saya.

Semula,kami hendak langsung menuju hotel tempat Achmad Michdan menginap.Tapi,Anis Priyo Anshari rupanya tak rela kalau harus langsung menyeberang ke pulau Nusakambangan tanpa harus menikmati segelas teh hangat dan >tempe mendoan<. Setelah >eyel-eyelan< penuh canda,akhirnya disepakati untuk mencari mendoan terlebih dahulu."Nah begitu,mumpung di sini masak nggak makan mendoan.Habis >mendoan<,baru hotel," ujar Anis Priyo Anshari tersenyum.

Setelah memuaskan perut dengan segelas teh hangat dan puluhan tempe mendoan,kami bernjak meninggalkan warung sederhana itu untuk menuju .Khalid yang telah menunggu langsung mempertemukan kami dengan Acmad Michdan di kamarnya. Setelah berbasa-basi sejenak,Achmad Michdan mempersilahkan kami untuk mandi di kamar mandi hotelnya. Dan di kamar mandi itu >lah< untuk pertama kalinya saya mandi di Kabupaten Cilacap.

Setelah semua mandi,kami pun bersiap. Saya langsung nak ke mobil yang membawa kami dari Solo.Tapi,meski jarum jam telah melewati angka 08.00, kami belum juga beringsut meninggalkan hotel.Usut punya usut,ternyata masih ada rombongan >jami'at< dari Solo yang belum tiba di Cilacap. " Masih nunggu rombongan lain dari Solo >cak<, mobilnya ngadat.Sebentar lagi sampai.Bang Michdan juga masih menunggu pesanan makanan untuk dibawa >nyebrang<," jelas Kholid menjawab penasaran di hati saya.

Hingga pukul 09.00,rombongan yang ditunggu belum juga muncul. Akhirnya sekitar pukul 09.30, Acmah Michdan memutuskan untuk berangkat.Rombongan yang belum tiba akan langsung menyusul ke Nusakambangan.Sebanyak enam mobil pagi itu berangkat dari hotel menuju dermaga penyeberangan.Di dermaga Wijayakusuma itu,kami melalui proses pemeriksaan yang cukup ketat. Meski demikian,pemeriksaan terhadap barang bawaan serta dokumen perizinan itu tidak berbelit dan tidak makan waktu lama.

Rombongan kami mendapat jatah menyebrang pada pemberangkatan tahap dua.Rombongan pertama yang berangkat adalah Acmad Michdan dan timnya dari Jakarta.Jadilah saya dan rekan-rekan TPM Jawa Tengah menunggu di pelabuhan hingga setengah jam lamanya. Dan setelah kapal ferry penyeberangn kembali, kami akhirnya menyeberang.

Tidak butuh waktu lama untuk melintasi perairan Segara Anakan itu.Kapal ferry Pengayoman II yang membawa kami akhirnya bersandar di dermaga Sodong,pulau Nusakambangan.Di sana,rombongan Ahcmad Michdan masih berbaik hati menunggu.Dan setelah semua turun dari kapal,perjalanan darat dengan pengawalan ketat polisi menuju ke LP Batu untuk menemui Amrozi,Mukhlas,dan Imam Samudra dimulai.

Friday, January 25, 2008

Bersama Amrozi dan Achmad Michdan


KOordinator Tim Pengacar Muslim Achmad Micdan (paling kiri) bersama Amrozi dan saya. Achmad Michdan melalui TPM Jawa tengah lah yang berbaik hati memberi saya tumpangan untuk ke Nusakambangan.

Amrozi menyesal korban bom Bali hanya 200 orang, harusnya 1000

Dari tiga terpidana mati itu , hanya Amrozi lah yang menolak untuk berbicara mengenai eksekusi mati terhadapnya. Dia hanya mengatakan dia berjihad untjuk mencari syahid. Dia ingin meningal sebagai seorang syuhada. Selain itu , dia mengaku menyesal dengan bom bali . Tapi penyesalan itu bukan karena aksinya, melainkan jumlah korban yang "hanya" 200 orang saja. Menurutnnya, dia akan lebih bangga jika aksi itu menewaskan 1000 orang. " Saya menyesal karena korban hanya 200, seharusnya 1000," ujarnya kepada saya .

Imam Samudra Siap Bertarung Dengan Regu Tembak







CILACAP-Imam Samudra,satu dari tiga terpidana mati kasus bom Bali I menyatakan akan memberi perlawanan jika regu tembak jadi mengeksekusi dirinya. Perlawanan yang menurut dia bakal dilakukan hingga titik darahn terakhir itu dilakukan untuk membuktikan bahwa dirinya bukan orang yang gampang menyerah.






” Saya akan melawan dengan apa yang saya punya. Saya tidak akan diam saja ketika tangan saya hendak diborgol atau ditembak. Saya tidak akan menyerah begitu saja. Saya tidak mau seperti kambing congek. Saya akan melawan hingga saya tidak bisa melawan. Dan jika saya mati, mati saya adalah mati syahid,” ujar Imam Samudra saat saya temui di Lapas Batu Nusakambangan , Cilacap, Rabu 23 Januari lalu .




Dia menambahkan , mati Syahid merupakan impiannya sejak berumur 17 tahun. Malah, kata Imam, kala itu dirinya sangat berharap sudah syahid di umur 25 tahun. ” Tapi Allah punya rencana lain untuk saya. Buktinya sampai sekarang saya masih hidup,” lanjutnya datar.




Sedangkan Mukhlas menegaskan dirinya tetap berharap bakal dieksekusi dengan cara Islami. Dia ingin mati dipancung. Cara itu menurutnya adalah salah satu cara untuk memberi tahu para mujahidin bahwa dirinya sama sekali tidak takut menghadapi kematian.




” Sesuai hukum Islam , saya ingin mati dengan cara dipancung,” ujarnya. Dia meyakini , kematian dirinya dengan cara dipanggal itu merupakan salah satu cara untuk menuju surga atau mati syahid.Sebab, kematian atas dirinya itu merupakan akibat dari aksi membela kaum muslim yang tertindas.” Saya berjihad di jalan Allah, kalau saya mati ,saya ingin mati Syahid,” imbuhnya.




Di lain pihak , Amrozi kemarin terlihat lebih santai. Dia tidak terlihat menggebu-gebu seperti dua rekannya . Ditanya mengenai apa yang bakal ia lakukan terkait dengan hukuman mati yang mengarah padanya, Amrozi mengatakan tidak memikirkan itu. Setengah bercanda , dia mengatakan hal yang ia pikirkan terkadang malah tidak terjadi.




”Saya nggak mau memikirkan itu , belum terpikirkan apa-apa . Yang jelas, di mana pun dan kapan pun saya ingin Mati Syahid. Tidak lebih. Saya juga mau kematian saya itu tidak dikenang. Tapi,terserah kalau ada yang mau ngenang,”ujar diiringi senyum lebar.




Dalam kesempatan yang sama, saya jelas melihat ketiga terpidana mati kasus bom bali itu sangat siap jika memang nantinya harus berhadapan dengan regu tembak.Tak setitikpun rona kawatir wajah pria-pria ini.




” Alhamdulilah,itu merupakan anugerah Allah.Di sini kami bisa meningkatkan ibadah. Makanya kami terlihat cerah dan tetap tersenyum. Tidak ada lain , Allah yang menjadikan kami seperti ini, ” imbuh Muhklas.




Terpisah , kuasa hukum ketiga terpidana,H Achmad Michdan mengatakan akan terus berjuang untuk membela kliennya. Upaya terbaru adalah mengajukan Peninjaun Kembali perkara itu. Dalihnya, upaya pengajuan PK sebelumhya tidak mendapat respon sebagaiman mestinya.” Hari ini kami datng sekalian mencari surat kuasa baru. Kami mau ajukan PK. PK yang kami ajukan dulu tidak direspon. Malah majelis hakim memberinya putusan PK tersebut melalui selembar surat hasil fotokopi.Ini kan aneh. Bagaimana putusan PK bisa keluar kalau sidangnya saja tidak digelar,”,”tandasnya.ari sudewo